Wednesday 1 August 2012

Kesaksian Horor Pada Tragedi Rohingya

"Orang-orang menangkap dan menggorok lehernya," kata saksi.
Warga Arakan pada konflik Rakhine-Rohingya

VIVAnews - Human Right Watch (HRW) pada Rabu 1 Agustus 2012 mengeluarkan laporan yang menunjukkan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap Muslim Rohingya pada bentrokan antara Juni-Juli lalu. Dalam laporan tersebut, HRW mengambil kesaksian 57 warga Rohingya dan Rakhine yang terlibat bentrok.
Laporan setebal 56 halaman itu berjudul "Pemerintah Seharusnya Menghentikan Ini: Kekerasan Sektarian dan Pelanggaran di Arakan." HRW mengecam pemerintah Myanmar yang dinilai tidak mampu melindungi warga Rohingya, malah justru ikut serta membunuh dan memperkosa mereka. Dalam laporan, tidak disebutkan nama asli saksi, demi keamanan mereka.
Salah seorang Muslim Rohingya berusia 36 tahun mengatakan bahwa tentara Myanmar ikut berada dalam barisan etnis Rakhine di Arakan, turut menembaki warga. Polisi hanya melihat saat warga Rohingya disabet parang dan tongkat.

"Mereka (Arakan) membakar rumah-rumah. Ketika (warga Rohingya) mencoba memadamkan api, paramiliter menembaki mereka. Massa memukuli mereka dengan tongkat besar. Kami mengumpulkan 17 mayat dengan bantuan tentara. Saya cuma bisa mengenali satu orang, namanya Mohammad Sharif. Saya lihat peluru menembus dada kirinya," kata saksi.

Saksi lainnya yang berusia 28 tahun membenarkan hal ini. Dia mengatakan bahwa tentara menembaki mereka dari dekat. Dia bahkan mengatakan korban saat itu berjumlah 50 orang. Saksi lain berusia 36 tahun mengatakan korban jatuh terdiri dari wanita dan anak-anak. "Saya lihat enam orang tewas. Satu wanita, dua anak-anak, dan tiga lelaki," kata dia.

Seorang wanita Rohingya di Sittwe berusia 38 tahun mengatakan pada HRW bahwa pada Juni lalu 50 orang Arakan mengepung rumahnya. Saat itu, sama sekali tidak ada kehadiran polisi dan aparat keamanan.

"Mereka menunjuk rumah kami dan bilang 'Ini adalah rumah Muslim' lalu 10 orang naik ke atas. Ipar saya berusaha kabur dengan lompat keluar jendela. Ketika melompat, orang-orang di luar menangkap dan menggorok lehernya. Kami sembunyi di balik pintu yang sulit ditembus. Mereka bilang 'keluar atau kami bakar, pilih mana?'," kata wanita itu.

Suami wanita tersebut adalah seorang pengusaha yang kerap berhubungan dengan polisi. Ketika suaminya menelepon kenalan polisinya, tidak diangkat. Dia, suami, mertua, dua pembantu dan tetangganya dipukuli. Beruntung, massa lainnya melerainya. Jika tidak, dipastikan mereka tewas.

Lalu massa mengarak mereka ke kantor polisi. Sepanjang perjalanan, mereka jadi bulan-bulanan massa. "Ketika kami sampai, ada 200-300 orang polisi. Beberapa dari mereka teman suami saya. Dia (suami) bertanya, 'kenapa tidak melindungi kami?' polisi itu menjawab 'Kami belum mendapat perintah untuk bergerak. Kami masih menunggu perintah'," lanjutnya lagi.

Pemerintah Myanmar melaporkan 77 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Namun, jumlahnya diperkirakan jauh lebih banyak daripada itu. Dalam laporan HRW, aparat dikatakan melarang Muslim Rohingya untuk mengubur kerabat mereka yang tewas dengan cara Islami, beberapa akhirnya dikremasi.

"Saat kekerasan terjadi pada 8 Juni, mayat-mayat ditumpuk dekat jembatan. Kami tidak boleh mengambilnya, untuk mengubur secara agama. Saat ini, jika seseorang melihat ke bawah jembatan, mereka bisa melihat mayat di bawahnya," kata seorang saksi lain. (eh)
sumber

No comments:

Post a Comment